Pembelajaran inovatif adalah
pembelajaran yang lebih bersifat student
centered. Artinya, pembelajaran yang lebih memberikan peluang kepada siswa
untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri (self directed) dan dimediasi oleh teman sebaya (peer mediated instruction).
Secara lebih spesifik, peranan guru
dalam pembelajaran adalah sebagai expert
learners, sebagai manager, dan sebagai mediator.
1. Sebagai expert learners, guru diharapkan
memiliki pemahaman mendalam tentang materi pembelajaran, menyediakan waktu yang
cukup untuk siswa, menyediakan masalah dan alternatif solusi, memonitor proses
belajar dan pembelajaran, merubah strategi ketika siswa sulit mencapai tujuan,
berusaha mencapai tujuan kognitif, metakognitif, afektif, dan psikomotor siswa.
2. Sebagai
manager, guru berkewajiban memonitor hasil belajar para siswa dan
masalahmasalah yang dihadapi mereka, memonitor disiplin kelas dan hubungan
interpersonal, dan memonitor ketepatan penggunaan waktu dalam menyelesaikan
tugas. Dalam hal ini, guru berperan sebagai expert teacher yang memberi keputusan
mengenai isi, menseleksi prosesproses kognitif untuk mengaktifkan pengetahuan
awal dan pengelompokan siswa.
3. Sebagai
mediator, guru memandu mengetengahi antar siswa, membantu para siswa
memformulasikan pertanyaan atau mengkonstruksi representasi visual dari suatu
masalah, memandu para siswa mengembangkan sikap positif terhadap belajar,
pemusatan perhatian, mengaitkan informasi baru dengan pengetahuan awal, dan
menjelaskan bagaimana mengaitkan gagasan-gagasan para siswa, pemodelan proses
berpikir dengan menunjukkan kepada siswa ikut berpikir kritis.
Terkait dengan desain pembelajaran,
peran guru adalah mengkreasi dan memahami model-model pembelajaran inovatif, model
pembelajaran memiliki lima unsur dasar (Joyce & Weil (1980), yaitu (1)
syntax, yaitu langkah-langkah operasional pembelajaran, (2) social system,
adalah suasana dan norma yang berlaku dalam pembelajaran, (3) principles of
reaction, menggambarkan bagaimana seharusnya guru memandang, memperlakukan, dan
merespon siswa, (4) support system, segala sarana, bahan, alat, atau lingkungan
belajar yang mendukung pembelajaran, dan (5) instructional dan nurturant
effects—hasil belajar yang diperoleh langsung berdasarkan tujuan yang disasar (instructional effects) dan hasil belajar
di luar yang disasar (nurturant effects).
A. Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw
Langkah-langkah
pembelajaran Model Pembelajaran
Kooperatif Jigsaw adalah sebagai berikut
:
(1)
Kelompok cooperative (awal )
1. Siswa dibagi ke dalam kelompok kecil
yang beranggotakan 3 – 5 orang.
2. Bagikan wacana atau tugas yang sesuai
dengan materi yang diajarkan
3. Masing-masing siswa dalam kelompok
mendapatkan wacana / tugas yang berbeda-beda dan memahami informasi yang ada
di dalamnya.
(2)
Kelompok Ahli
1. Kumpulkan masing-masing siswa yang
memiliki wacana / tugas yang sama dalam satu kelompok sehingga jumlah kelompok
ahli sesuai dengan wacana / tugas yang telah dipersiapakan oleh guru.
2. Dalam kelompok ahli ini tugaskan agar
siswa belajar bersama untuk menjadi ahli sesuai dengan wacana / tugas yang
menjadi tanggung awabnya.
3. Tugaskan bagi semua anggota kelompok
ahli untuk memahami dan dapat menyampaikan informasi tentang hasil dari wacana
/ tugas yang telah dipahami kepada kelompok cooperative.
4. Apabila tugas sudah selesai dikerjakan
dalam kelompok ahli masing-masing siswa kembali kelompok cooperative (awal)
5. Beri kesempatan secara bergiliran
masing-masing siswa untuk menyampaikan hasil dari tugas di kelompok ahli.
6. Apabila kelompok sudah menyelesaikan
tugasnya, secara keseluruhan masing-masing kelompok melaporkan hasilnya dan
guru memberi klarifikasi.
B. Model Pembelajaran Kooperatif Numberd Heads Together
Dikembangkan
oleh Spencer Kagan (1992) Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk
saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
Selain itu, teknik ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerja
sama mereka. Teknik ini juga digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk
semua tingkatan usia anak didik.
Langkah-langkah
pembelajaran Model Pembelajaran
Kooperatif Numberd Heads Together
sebagai berikut :
1. Siswa dibagi dalam beberapa kelompok.
Setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor urut.
2. Guru memberikan tugas dan masing-masing
kelompok mengerjakannya.
3. Kelompok memutuskan jawaban yang
dianggap paling benar dan memastikan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban
ini.
4. Guru memanggil salah satu nomor siswa
dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerja sama mereka.
5. Tanggapan dari kelompok yang lain
6. Teknik Kepala Bernomor ini juga dapat
dilanjutkan untuk mengubah komposisi kelompok yang biasanya dan bergabung
dengan siswa-siswa lain yang bernomor sama dari kelompok lain.
C. Model Pembelajaran Kooperatif Group To Group Exchange
Model
pembelajaran Pertukaran Kelompok Mengajar ini,
tugas yang berbeda diberikan kepada kelompok peserta didik yang berbeda.
Masing-masing kelompok “mengajar” apa yang telah dipelajari untuk sisa kelas.
Langkah-langkah
pembelajaran Model Pembelajaran
Kooperatif Group To Group Exchange
sebagai berikut :
1. Pilihlah sebuah topik yang mencakup
perbedaan ide, kejadian, posisi, konsep, pendekatan untuk ditugaskan. Topik
haruslah sesuatu yang mengembangkan sebuah pertukaran pandangan atau informasi
(kebalikan teknik debat)
2. Bagilah kelas ke dalam beberapa
kelompok, jumlah kelompok sesuai jumlah tugas. Diusahakan tugas masing-masing
kelompok berbeda.
3. Berikan cukup waktu untuk berdiskusi
dan mempersiapkan bagaimana mereka dapat menyajikan topik yang telah mereka
kerjakan.
4. Bila diskusi telah selesai, mintalah
kelompok memilih seorang juru bicara. Undanglah setiap juru bicara menyampaikan
kepada kelompok lain.
5. Setelah presentasi singkat, doronglah peserta
didik bertanya pada presenter atau tawarkan pandangan mereka sendiri. Biarkan
anggota juru bicara kelompok menanggapi.
6. Lanjutkan sisa presentasi agar setiap
kelompok memberikan informasi dan merespon pertanyaan juga komentar peserta.
Bandingkan dan bedakan pandangan serta informasi yang saling ditukar. Contoh:
Seorang pengajar membandingkan dua negara yang telah disepakati dengan
menggunakan motede ini. Kelompok pertama membahas Costa Rica (dikenal negara
yang aman) dan kelompok lain membahas El Savador (baru saja mengalami perang
saudara). Setelah setiap kelompok mempresentasikan kebudayaan dan sejarah
negara yang telah ditetapkan, diskusi diarahakan pada analisis “ mengapa dua
negara tetangga tersebut memiliki perbedaan pengalaman”
Adapun
Variasi Model pembelajaran Pertukaran Kelompok Mengajar dapat dilakukan dengan
cara
1. Mintalah setiap kelompok melakukan
penelitian ekstensif sebelum presentasi.
2. Gunakan bentuk diskusi panel atau fishbowl
untuk masing-masing presentasi sub-kelompok.
D.
Model Pembelajaran Kooperatif Decision Making
Pemecahan
masalah (problem solving) adalah suatu bentuk cara belajar aktif yang
mengembangkan kemampuan anak untuk berfikir dan bertindak secara logis, kreatip
dan krisis untuk memecahkan masalah. Dalam Proses Belajar Mengajar masalah yang
dikemukakan anak antara lain dapat dipecahkan melalui diskusi, opservasi,
klasifikasi, pengukuran, penarikan kesimpulan serta pembuktian hipotesis.
Pemecahan maslah sangat penting diterapkan dan dipadukan dalam Proses Belajar
Mengajar agar anak: dapat mengembangkan cara berpikir memecahkan masalah yang
dijumpai sehari-hari baik dilingkungan terdekatnya maupun dilingkungan
masyarakat yang lebih luas. Anak juga Dibekali kemampuan menghadapi tantangan
baru yang akan muncul dalam kehidupannya dimasa depan sesuai dengan tanda-tanda
jaman dan anak ibekali kemampuan dasar bagaimana menanggapi masalah merumuskan
masalah dan memilih alternatif pemecahan secara tepat.
Menurut
John Dewey pengambilan keputusan (decision making) tidak jarang disamakan
dengan berpikir kritis, pemecahan masalah dengan berpikir logis serta berpikir
replektif. Berpikir kritis (critical thinking) untuk sampai suatu kesimpulan
diawali dengan pertanyaan dan pertimbangan kebenaran serta nilai apa yang
sebenarnya ada dalam pertanyaan itu. Pemecahan masalah (problem solving), untuk
sampai pada kesimpulan diawali dengan masalah yang dihadapi dan mempertanyakan
bagaimana masalah itu dapat diselesaikan/dipecahan. Berpikir logis (logical
thingking) untuk sampai pada suatu kesimpulan yang diutamakan adalah alur
berpikirnya, mulai dari identifikasi, meramalkan, menganalisis fakta dan opini
serta verifikasi.
Ketiga
ketrampilan berpikir tersebut semuanya bermuara pada pengambilan keputusan
untuk mendapatkan suatu alternatif/pilihan yang kemudian ditindaklanjuti dalam
bentuk tindakan. Dengan demikian dalam pengambilan keputusan bukan semata-mata
bertujuan untuk memperoleh informasi atau pengetahuan, tetapi juga dilandasi
oleh pertimbangan secara nalar dan penilaian, tindakan yang diambil akan dapat
dipertanggungjawabkan. Pengambilan keputusan yang efektif membutuhkan
ketrampilan mengumpulkan informasi tentang suatu permasalahan, berpikir kritis
dan kreatif.
Langkah-langkah
Model Pembelajaran Kooperatif Decision Making adalah sebagai berikut::
1. Informasi tujuan dan Perumusan masalah.
2. Secara klasikal tayangkan gambar,
wacana atau kasus permasalahan yang sesuai dengan materi pelajaran atau
kompetensi yang diharapkan
3. Buatlah pertanyaan agar siswa dapat
merumuskan permasalahan sesuai dengan gambar, wacana atau kasus yang disajikan.
4. Secara kelompok siswa diminta
mengidentifikasikan permasalahan dan membuat alternatif pemecahannya.
5. Secara kelompok/individu siswa diminta
mengidentifikasi permasalahan yang terdapat dilingkungan sekitar siswa yang
sesuai dengan materi yang dibahas dan cara pemecahannya.
6. Secara kelompok/individu siswa diminta
mengemukakan alasan mereka menilih alternatif tersebut.
7. Secara kelompok/individu siswa diminta
mencari penyebab terjadinya masalah tersebut.
8. Secara kelompok/individu siswa diminta
mengemukakan tindakan untuk mencegah terjadinya masalah tersebut.
E.
Model Analisis Kasus
Ada
dua pertimbangan yang dijadikan landasan bahwa model pembelajaran analisis
kasus sangat penting dalam pengajaran PKn sebagai pendidikan nilai, moral,
norma yaitu pertama, dunia dan potensi serta proses afektual peserta didik
hanya dapat bergetar dan terlibatkan apabila ada media stimulus (perangsang)
yang menggetarkan. Kedua, proses afektual sukar terjadi melalui bahan ajar yang
konsepsional, teoritik dan normatif. Bahan ajar ini masih harus diolah dan
dimanipulasi oleh guru menjadi media stimulus afektif berkadar tinggi.
Contoh
cerita kasus (fiktif) “tabrak lari”. Ceritera tersebut dapat Saudara buat
sendiri atau mengutif dari media massa. Contoh ceritera (fiktif) untuk
stimulus:
KASUS
“TABRAK LARI”
Suatu
pagi Mas’an seorang tukang sayur yang biasa berkeliling di desa Malabar
menyeberang jalan raya tanpa memperhatikan kendaran yang melintas jalan
tersebut, tiba-tiba muncul sebuah minibus dengan kecepatan tinggi dan menabrak
tukang sayur tersebut. Kaki Mas’an tergilas kendaran itu dan mengalami patah
kaki. Supir minibus yang bernama Teddy sedang dalam keadaan mabuk melarikan diri tanpa meperhatikan Mas’an.
Masyarakat yang kebetulan mengetahui kejadian tersebut mengejar Teddy dan
tertangkap sekitar 3 kilometer dari tempat kejadian. Kemudian beberapa pemuda
ramai-ramai memukuli Teddy hingga pingsan dan baru mereka berhenti setelah
datang anggota polisi lalu lintas melindungi Teddy dan kelompok pemuda itu
sendiri kabur.
Sedangkan
Irwan dan Yandi siswa salah satu SMP di daerah itu memberi pertolongan kepada
Mas’an dan membawanya ke Puskesmas terdekat. Istri Mas’an yang sedang hamil tua
yang datang ke Puskesmas beberapa jam setelah kejadian menangis melihat
suaminya terbaring tak berdaya. Padahal
biaya hidup dan sekolah anaknya hanya mengandalkan dari hasil jual
sayuran yang tidak seberapa. Mas’an
sendiri pasrah dan akan memaafkan kelalaian Teddy.
Langkah
pembuatan dan penggunaan model pembelajaran analisis kasus adalah sebagai berikut.
1. Menganalisis standar Kompetensi, Kompetensi
Dasar yang akan dijarakan, kemudian
tentukan pencapaian target nilai-moral yang diharapkan melalui perumusan
indikator pembelajaran
2. Membuat ceritera dari suatu peristiwa yang
pernah atau sering terjadi. Cerita tersebut mengandung nilai-moral dilematis
dan sesuai dengan target nilai-moral
harapan
3. Usahakan ceritera yang telah disiapkan itu
diperbanyak sejumlah siswa, sehingga semua siswa mempunyai kesempatan yang sama
untuk mempelajari ceritera tersebut.
4. Pada saat pelaksanaan beri kesempatan
kepada siswa untuk membaca ceritera itu sekitar 3- 5 menit, kemudian beberapa
siswa diminta komentarnya terhadap materi ceritera itu. Atau bisa saja
diberikan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh semua siswa, misalnya:
· Bagaimana perasaan kalian
terhadap kejadian tersebut?
· Apa yang akan kalian lakukan jika
menjadi saudara atau isitri tukang sayur? Apa yang akan dilakukan jika
menjadi Teddy?
· Perbuatan-perbuatan apa yang
dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila?
· Perbuatan-perbuatan apa yang
dianggap sesuai dengan nilai-nilia Pancasila? dan sebagainya.
1. Ajak siswa mendiskusikan cerita tersebut dan arahkan pada nilai moral
yang diharapan
2. Menyimpulkan materi pembelajaran
F.
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Talking Chips
Talking
adalah sebuah kata yang diambil dari bahasa inggris yang berarti berbicara,
sedangkan chips yang berarti kartu. Jadi arti talking chips adalah kartu untuk
berbicara. Sedangkan talking chips dalam pembelajaran kooperatif yaitu
pembelajaran yang dilakukan dalam kelompok kecil yang terdiri atas 4-5 orang,
masing-masing anggota kelompok membawa sejumlah kartu yang berfungsi untuk
menandai apabila mereka telah berpendapat dengan memasukkan kartu tersebut ke
atas meja. Model pembelajaran talking chips atau kancing gemerincing merupakan
salah satu model pembelajaran yang menggunakan metode pembelajaran kooperatif.
Berdasarkan
pada prosedur pelaksanaan pembelajarannya, Lie (2002: 14) membedakan
pembelajaran kooperatif dalam beberapa tipe, yaitu make a match (mencari
pasangan), Think–Fair–Share (berpikir - berpasangan - berbagi), bertukar
pasangan, berkirim salam dan soal, numbered heads together (kepala bernomor),
two stay two stray (dua tamu dua tinggal), talking chips (kartu berbicara),
roundtable (meja bundar), inside–outside–circle (lingkaran besar lingkaran
kecil), paired storytelling (berbicara berpasangan), three steps interview
(tiga tahap wawancara), dan jigsaw.
Pembelajar
kooperatif tipe talking chips pertama kali dikembangkan oleh Spencer Kagan pada
tahun 1992. Dalam kegiatan talking chips, masing-masing anggota kelompok
mendapat kesempatan untuk memberikan kontruksi mereka dan mendengarkan
pandangan dan pemikiran anggota yang lain. Keunggulan lain dari teknik ini
adalah untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai
kerja kelompok. Sebagaimana dinyatakan Masitoh dan Laksmi Dewi dalam bukunya
Strategi Pembelajar (2009:244) model pembelajaran talking chips merupakan model
pemelajaran kancing gemerincing yang dikembangkan oleh Spender Kagan (1992).
Dalam
pelaksanaan talking chips setiap anggota kelompok diberi sejumlah kartu atau
“chips” (biasanya dua sampai tiga kartu). Setiap kali salah seorang anggota
kelompok menyampaikan pendapat dalam diskusi, ia harus meletakan satu kartunya
ditengah kelompok. Setiap anggota diperkenankan menambah pendapatnya sampai
semua kartu yang dimilikinya habis. Jika kartu yang dimilikinya habis, ia tidak
boleh berbicara lagi sampai semua anggota kelomoknya juga menghabiskan semua
kartu mereka. Jika semua kartu telah habis, sedangkan tugas belum selesai,
kelompok boleh mengambil kesempatan untuk membagi-bagi kartu lagi dan diskusi
dapat diteruskan kembali (Kagan, 2000 : 47).
Dengan
demikian dalam penerapan model pembelajaran kooperatif Tipe Talking Chips: (1)
siswa dibagi dalam kelompok-kelompok kecil sekitar 4-6 orang perkelompok. (2)
kelompoknya para siswa diminta untuk mendiskusikan suatu masalah atau materi
pelajaran. ( 3 ) Setiap kelompok diberi 4-5 kartu yang digunakan untuk siswa
berbicara. Setelah siswa mengemukakan pendapatnya, maka kartu disimpan di atas
meja kelompoknya. Proses dilanjutkan sampai seluruh siswa dapat menggunakan
kartunya untuk berbicara. Cara ini membuat tidak ada siswa yang mendominasi dan
tidak ada siswa yang tidak aktif, semua siswa harus mengungkapkan pendapatnya.
Disamping itu, penerapan model pembelajaran kooperatif teknik talking chips
merupakan suatu model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student oriented),
dimana model pembelajaran ini sesuai menempati posisi sentral sebagai subyek
belajar melalui aktivitas mencari dan menemukan materi pelajaran sendiri.
Secara
sederhana, penggunaan kartu dapat diganti oleh benda-benda kecil lainnya yang
dapat menarik perhatian siswa, misalnya kancing, kacang merah, biji kenari, potongan
sedotan, batang-batang lidi, sendok es krim, dan lain-lain. Karena benda-benda
tersebut berbunyi gemerincing, maka istilah untuk talking chips dapat disebut
juga dengan “kancing gemerincing” (Lie, 2002 : 63).
Model
pembelajaran talking chips dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk
semua tingkat usia anak didik. Kegiatan kancing gemerincing membutuhkan
pengelompokan siswa menjadi beberapa kelompok. Teknik ini dapat memberikan
kontribusi siswa secara merata. Teknik ini dapat digunakan untuk berdiskusi,
mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain ataupun untuk saling
mengevaluasi hapalan. Teknik kancing gemerincing dirancang untuk mengatasi
hambatan pemerataan kesempatan yang sering mewarnai kerja kelompok. Dalam
banyak kelompok, sering ada anggota yang terlalu dominan dan banyak bicara.
Sebaliknya juga ada anggota yang pasif dan pasrah saja pada rekannya yang lebih
dominan.
Dengan
menerapkan teknik talking chip ini dalam proses pembelajaran, diharapkan semua
siswa memiliki kesempatan yang sama untuk aktif dalam mengemukakan pendapat
sehingga terjadi pemerataan kesempatan dalam pembagian tugas kelompok. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lie bahwa “dalam kegiatan kancing
gemerincing, masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan yang sama
untuk memberikan kontribusi mereka serta mendengarkan pandangan dan pemikiran
anggota yang lain.
Menurut
Sonia dalam “Talking Chips (A Book of
Multiple Intelligence Exercise From Spain, Talking chips mempunyai dua proses
yang penting, yaitu; proses sosial dan proses dalam penguasaan materi. Proses
sosial berperan penting dalam talking chips yang menuntut siswa untuk dapat
bekerjasama dalam kelompoknya, sehingga para siswa dapat membangun pengetahuan
mereka di dalam suatu bingkai sosial yaitu pada kelompoknya. Para siswa belajar
untuk berdiskusi, meringkas, memperjelas suatu gagasan, dan konsep materi yang
mereka pelajari, serta dapat memecahkan masalah-masalah.
Talking
Chips mempunyai tujuan tidak hanya sekedar penguasaan bahan pelajaran, tetapi
adanya unsur kerjasama untuk penguasaan materi tersebut. Hal ini menjadi ciri
khas dalam pembelajaran kooperatif. Disamping itu, talking chips merupakan
metode pembelajaran secara kelompok, maka kelompok merupakan tempat untuk
mencapai tujuan sehingga kelompok harus mampu membuat siswa untuk belajar.
Dengan demikian semua anggota kelompok harus saling membantu untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
Selain
dengan kelompoknya, siswa juga dapat berinteraksi dengan anggota kelompok lain
sehingga tercipta kondisi saling ketergantungan positif di dalam kelas mereka
pada waktu yang sama. Proses penguasaan materi berjalan karena para siswa
dituntut untuk dapat menguasai materi
Langkah-Langkah
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tife Talking Chips
Menurut
Masitoh dan Laksmi Dewi. (2009:244), terdapat lima langkah utama atau tahapan
di dalam pelajaran yang menggunakan model pembelajaran kooperatif tife Talking
Chips, yaitu: 1) Guru menyiapkan kotak kecil yang berisikan kancing-kancing. 2)
Setiap siswa dalam masing-masing kelompok mendapatkan dua atau tiga buah
kancing 3) Setiap kali seorang siswa berbicara atau mengeluarkan pendapat ide
harus menyerahkan salah satu kancingnya;
4) Jika kancing yang dimiliki seorang siswa habis, dia tidak boleh berbicara
lagi sampai semua rekannya juga menghabiskan kancing mereka. 5) Jika semua
kancing sudah habis, sedangkan tugas belum selesai, kelompok boleh mengambil
kesepakatan untuk membagi-bagi kancing lagi dan mengulangi prosedurnya kembali
Kelebihan
Dan Kelemahan Model Pembelajaran Kooperatif Tife Talking Chips
Dalam
pembelajaran kooperatif model talking chips masing-masing anggota kelompok
mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan
pandangan dan pemikiran anggota yang lain dalam kelompoknya. Keunggulan lain
dari model ini adalah untuk mengatasi hambatan pemerataan kesempatan yang
sering mewarnai kerja kelompok. Dalam banyak kelompok kooperatif yang lain
sering ada anggota yang selalu dominan dan banyak bicara. Sebaliknya, ada juga
anggota yang pasif dan pasrah saja pada rekannya yang lebih dominan. Dalam
situasi seperti ini, pemerataan tanggung jawab dalam kelompok bisa tidak
tercapai karena anggota yang pasif akan selalu menggantungkan diri pada
rekannya yang dominan. Model pembelajaran talking chips memastikan bahwa setiap
siswa mendapatkan kesempatan untuk berperan serta.
Sedangkan
kelemahan dalam model pembelajaran talking chips diantaranya: 1) tidak semua
konsep dapat mengungkapkan model talking hips, disinilah tingkat
profesionalitas seorang guru dapat dinilai. 2) pengelolaan waktu saat persiapan
dan pelaksanaan perlu diperhatikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran,
terutama dalam proses pembentukan pengetahuan siswa. 3) pembelajaran model
talking chips memerlukan persiapan yang cukup sulitm, 4) guru dituntut untuk
dapat mengawasi setiap siswa yang ada di kelas, oleh karena itu cukup sulit
dilakukan terutama jika jumlah siswa dalam kelas terlalu banyak.
G.
Model Pembelajaran Penemuan (Discovery
Learning)
Metode
Discovery Learningadalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam
bentuk finalnya, tetapi diharapkan mengorganisasi sendiri. Sebagaimana pendapat
Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the learning that takes
place when the student is not presented with subject matter in the final form,
but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun,
1986:103). Dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa
anak harus berperan aktif dalam belajar di kelas.
Bruner
memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, dimana murid mengorganisasi
bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41). Metode
Discovery Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses
intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43).
Discovery terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses
mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan
melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi.
Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri
adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind
(Robert B. Sund dalam Malik, 2001:219).
Sebagai
strategi belajar,Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri
(inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga
istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep
atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery
ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam
masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan pada inkuiri masalahnya bukan
hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran dan
keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui
proses penelitian.
Problem
Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan masalah. Akan tetapi
prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau
bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan
tetapi siswa sebagai peserta didik didorong untuk mengidentifikasi apa yang
ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi sendiri kemudian
mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka
pahami dalam suatu bentuk akhir.
Dengan
mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang dapat
meningkatkan kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Penggunaan
metode Discovery Learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi
aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang teacher oriented ke student
oriented. Mengubah modus Ekspositori siswa hanya menerima informasi secara
keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan informasisendiri.
Dalam
Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan
kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya
generalisasi. Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam
Discovery, bahwa Discovery adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih
sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan kategori-kategori dan
sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas
& difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian
(events).
Bruner
memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa
dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu,
meliputi: 1) Nama; 2) Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif; 3)
Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak; 4) Rentangan karakteristik; 5)
Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep
merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir
yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan
menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas
dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.
Di
dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa,
dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses
belajar perlu lingkungan memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap
eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu
lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang
belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui.
Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan
dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk
memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada
manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa.
Manipulasi bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam
berpikir (merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat
perkembangannya.
Menurut
Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang
ditentukan oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan
symbolic. Tahap enaktive, seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya
untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam memahami dunia sekitarnya
anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan, sentuhan,
pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau
dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam
memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan
perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki
ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya
dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar
melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.
Komunikasinya
dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam
proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori
perkembangan dalam fase enactive, iconic dan symbolic adalah anak menjelaskan
sesuatu melalui perbuatan (ia bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan
untuk menyesuaikan beratnya dengan berat temannya bermain) ini fase enactive.
Kemudian pada fase iconic ia menjelaskan keseimbangan pada gambar atau bagan
dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan ini
fase symbolic (Syaodih, 85:2001).
Dalam
mengaplikasikan metode Discovery Learning guru berperan sebagai pembimbing
dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif,
sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan
belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini
ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student
oriented.
Hal
yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus
memberikan kesempatan muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang
scientis, historin, atau ahli matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan
ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa dituntut untuk melakukan
berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan,
menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat
kesimpulan-kesimpulan.
Hal
tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan
memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang
dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery
Learning harus dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar
yang lebih mandiri. Bruner mengatakan
bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman
melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
Pada
akhirnya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning menurut Bruner
adalah hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi
seorang problem solver, seorang scientist, historian, atau ahli matematika.
Melalui kegiatan tersebut siswa akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan
hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.
Karakteristik
yang paling jelas mengenai Discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa
sesudah tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah
lebih berkurang dari pada metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti
bahwa guru menghentikan untuk memberikan suatu bimbingan setelah problema
disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak hanya dikurangi
direktifnya melainkan pelajar diberi
responsibilitas yang lebih besar untuk belajar sendiri.
Adapun
Kelebihan Penerapan Discovery Learning
1. Membantu siswa untuk memperbaiki dan
meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha
penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara
belajarnya.
2. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode
ini sangat pribadi dan ampuh karena menguatkan pengertian, ingatan dan
transfer.
3. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena
tumbuhnya rasa menyelidiki dan berhasil.
4. Metode ini memungkinkan siswa berkembang
dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannyasendiri.
5. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan
belajarnya sendiri dengan melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
6. Metode ini dapat membantu siswa memperkuat
konsep dirinya, karena memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
7. Berpusat pada siswa dan guru berperan
sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak
sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.
8. Membantu siswa menghilangkan skeptisme
(keragu-raguan) karena mengarah padakebenaran yang final dan tertentu atau
pasti.
9. Siswa akan mengerti konsep dasar dan
ide-ide lebih baik.
10.
Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang baru.
11.
Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
12.
Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
13.
Memberikan keputusan yang bersifat intrinsic.
14.
Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
15.
Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia
seutuhnya.
16.
Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
17.
Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
18.
Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.
Adapun
KelemahanPenerapan Discovery Learning
1. Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada
kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami
kesulitan abstrak atau berpikir atau mengungkapkan hubungan antara
konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan
menimbulkan frustasi.
2. Metode ini tidak efisien untuk mengajar
jumlah siswa yang banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu
mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.
3. Harapan-harapan yang terkandung dalam
metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa
dengan cara-cara belajar yang lama.
4. Pengajaran discovery lebih cocok untuk
mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan
emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.
5. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA
kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan oleh para siswa
6. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan
untukberpikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah dipilih terlebih
dahulu oleh guru.
Berikut
ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas.
· Langkah Persiapan Metode Discovery
Learning
1. Menentukan tujuan pembelajaran.
2. Melakukan identifikasi karakteristik
siswapeserta didik (kemampuan awal, minat, gaya
belajar, dan sebagainya).
3. Memilih materi pelajaran
4. Menentukan topik-topik yang harus
dipelajari siswapeserta didik secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi)
5. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang
berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas
dan sebagainya untuk dipelajari siswapeserta didik
6. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang
sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif,
ikonik sampai ke simbolik.
7. Melakukan penilaian proses dan hasil
belajar siswap eserta didik
· Prosedur Aplikasi Metode Discovery
Learning
Menurut
Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning di kelas,ada
beberapa prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar
secara umum sebagai berikut:
1.
Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pertama-tama
pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya,
kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan
untuk menyelidiki sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan
mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang
mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
Stimulasi
pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat
mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini
Bruner memberikan stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi
internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian seorang Guru harus
menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar tujuan
mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.
2. Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi
Masalah)
Setelah
dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada
siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang
relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan
dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah) (Syah
2004:244), sedangkan menurut
permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan (statement) sebagai jawaban
sementara atas pertanyaan yang diajukan.
Memberikan
kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisispermasasalahan yang
mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka
terbiasa untuk menemukan suatu masalah.
3.
Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika
eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar
atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk
menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis.
Dengan
demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai
informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan
nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap
ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan
dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja siswa
menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
4.
Data Processing (Pengolahan Data)
Menurut
Syah (2004:244) pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi
yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan
sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informai hasil bacaan, wawancara,
observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan,
ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan
pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22).
Data
processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi
sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa
akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang
perlu mendapat pembuktian secara logis
5.
Verification (Pembuktian)
Pada
tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar
atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif,
dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut
Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif
jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep,
teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam
kehidupannya.
Berdasarkan
hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau
hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab
atau tidak, apakah terbukti atau tidak.
6.
Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap
generalisasi/ menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang
dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang
sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil
verifikasi maka dirumuskan
prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi
yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran
atas makna dan kaidah atau prinsip-prinsip yang luas yang mendasari
pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan dan generalisasi dari
pengalaman-pengalaman itu.
I.
Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL)
Problem
Based Learning (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam
kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut peserta didik mendapat
pengetahuan penting, yang membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan
memiliki model belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam
tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistemik untuk
memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran
berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan
masalah kontekstual sehingga merangsang peserta didik untuk belajar. Dalam
kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, peserta didik bekerja
dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world).
Pembelajaran
berbasis masalah merupakan suatu metode pembelajaran yang menantang peserta
didik untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara berkelompok untuk
mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah yang diberikan ini
digunakan untuk mengikat peserta didik pada rasa ingin tahu pada pembelajaran
yang dimaksud. Masalah diberikan kepada peserta didik, sebelum peserta didik
mempelajari konsep atau materi yang berkenaan dengan masalah yang harus
dipecahkan.
Model
pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan adanya pemberian rangsangan
berupa masalah-masalah yang kemudian dilakukan pemecahan masalah oleh peserta
didik yang diharapkan dapat menambah keterampilan peserta didik dalam
pencapaian materi pembelajaran.
Berikut
ini lima strategi dalam menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (PBL).
1. Permasalahan sebagai kajian.
2. Permasalahan sebagai penjajakan pemahaman.
3. Permasalahan sebagai contoh.
4. Permasalahan sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari proses.
5. Permasalahan sebagai stimulus aktivitas
autentik.
Peran
guru, peserta didik dan masalah dalam pembelajaran berbasis masalah dapat
digambarkan berikut ini.
Guru
sebagai Pelatih
Peserta
Didik sebagai Problem Solver
Masalah
sebagai Awal Tantangan dan Motivasi
Asking
about thinking (bertanya tentang pemikiran).
Memonitor
pembelajaran.
Probbing
( menantang peserta didik untuk berpikir ).
Menjaga
agar peserta didik terlibat.
Mengatur
dinamika kelompok.
Menjaga
berlangsungnya proses.
Peserta
yang aktif.
Terlibat
langsung dalam pembelajaran.
Membangunpembelajaran.
Menarikuntuk dipecahkan.
Menyediakan kebutuhan yang ada hubungannya dengan
pelajaran yang dipelajari.
Tujuan
dan hasil dari model pembelajaran berbasis masalah ini adalah:
1. Keterampilan berpikir dan keterampilan
memecahkan masalah
2. Pembelajaran berbasis masalah ini ditujukan
untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi.
3. Pemodelan peranan orang dewasa.
4. Bentuk pembelajaran berbasis masalah penting
menjembatani gap antara pembelajaran sekolah formal dengan aktivitas mental yang
lebih praktis yang dijumpai di luar sekolah. Berikut ini aktivitas-aktivitas
mental di luar sekolah yang dapat dikembangkan.
5. PBL mendorong kerjasama dalam menyelesaikan
tugas.
6. PBL memiliki elemen-elemen magang. Hal ini
mendorong pengamatan dan dialog dengan yang lain sehingga peserta didik secara
bertahap dapat memi peran yang diamati tersebut.
7. PBL melibatkan peserta didik dalam
penyelidikan pilihan sendiri, yang memungkinkan mereka menginterpretasikan dan
menjelaskan fenomena dunia nyata dan membangun femannya tentang fenomena itu.
8. Belajar Pengarahan Sendiri (self directed
learning)
9. Pembelajaran berbasis masalah berpusat pada
peserta didik. Peserta didik harus dapat menentukan sendiri apa yang harus
dipelajari, dan dari mana informasi harus diperoleh, di bawah bimbingan guru.
Pendekatan
PBL mengacu pada hal-hal sebagai berikut ini.
Kurikulum
: PBL tidak seperti pada kurikulum tradisional, karena memerlukan suatu
strategi sasaran di mana proyek sebagai pusat.
Responsibility
: PBL menekankan responsibility dan answerability para peserta didik ke diri
dan panutannya.
Realisme
: kegiatan peserta didik difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi
yang sebenarnya. Aktifitas ini mengintegrasikan tugas otentik dan menghasilkan
sikap profesional.
Active-learning
: menumbuhkan isu yang berujung pada pertanyaan dan keinginan peserta didik
untuk menemukan jawaban yang relevan, sehingga dengan demikian telah terjadi
proses pembelajaran yang mandiri.
Umpan
Balik : diskusi, presentasi, dan evaluasi terhadap para peserta didik
menghasilkan umpan balik yang berharga. Ini mendorong kearah pembelajaran
berdasarkan pengalaman.
Keterampilan
Umum : PBL dikembangkan tidak hanya pada ketrampilan pokok dan pengetahuan
saja, tetapi juga mempunyai pengaruh besar pada keterampilan yang mendasar
seperti pemecahan masalah, kerja kelompok, dan self-management.
Driving
Questions :PBL difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang memicu peserta
didik untuk berbuat menyelesaikan permasalahan dengan konsep, prinsip dan ilmu
pengetahuan yang sesuai.
Constructive
Investigations :sebagai titik pusat, proyek harus disesuaikan dengan
pengetahuan para peserta didik.
Autonomy
:proyek menjadikan aktifitas peserta didik sangat penting.
Kelebihan
Menggunakan PBL
1. Dengan PBL akan terjadi pembelajaran
bermakna. Peserta didik/mahapeserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah
maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha
mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan
dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan situasi di mana konsep
diterapkan.
2. Dalam situasi PBL, peserta didik
mengintegrasikan pengetahuan dan ketrampilan secara simultan dan
mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.
3. PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir
kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik didik dalam bekerja, motivasi
internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam
bekerja kelompok.
4. Metoda ini memiliki kecocokan terhadap
konsep inovasi pendidikan bidang keteknikan, terutama dalam hal sebagai berikut
:
peserta
didik memperoleh pengetahuan dasar (basic sciences)yang berguna untuk
memecahkan masalah bidang keteknikan yang dijumpainya;
peserta
didik belajar secara aktif dan mandiri dengan sajian materi terintegrasi dan
relevan dengan kenyataan sebenarnya, yang sering disebut student-centered;
peserta
didik mampu berpikir kritis, dan mengembangkan inisiatif.
Pembelajaran
suatu materi pelajaran dengan menggunakan PBL sebagai basis model dilaksanakan
dengan cara mengikuti lima langkah PBL dengan bobot atau kedalaman setiap
langkahnya disesuaikan dengan mata pelajaran yang bersangkutan.
Jika
dipandang perlu, fasilitator dapat memberikan konsep dasar, petunjuk, referensi,
atau link dan skill yang diperlukan dalam pembelajaran tersebut. Hal ini
dimaksudkan agar peserta didik lebih cepat masuk dalam atmosfer pembelajaran
dan mendapatkan ‘peta’ yang akurat tentang arah dan tujuan pembelajaran. Lebih
jauh, hal ini diperlukan untuk memastikan peserta didik memperoleh kunci utama
materi pembelajaran, sehingga tidak ada kemungkinan terlewatkan oleh peserta
didik seperti yang dapat terjadi jika peserta didik mempelajari secara mandiri.
Konsep yang diberikan tidak perlu detail, diutamakan dalam bentuk garis besar
saja, sehingga peserta didik dapat mengembangkannya secara mandiri secara
mendalam.
Berikut
ini langkah-langkah Langkah-langkah Operasional Implementasi Model PBL dalam
Proses Pembelajaran
1.
Pendefinisian masalah (Defining the Problem)
Dalam
langkah ini fasilitator menyampaikan skenario atau permasalahan dan dalam
kelompoknya, peserta didik melakukan berbagai kegiatan. Pertama, brainstorming
yang dilaksanakan dengan cara semua anggota kelompok mengungkapkan pendapat,
ide, dan tanggapan terhadap skenario secara bebas, sehingga dimungkinkan muncul
berbagai macam alternatif pendapat. Setiap anggota kelompok memiliki hak yang
sama dalam memberikan dan menyampaikan ide dalam diskusi serta
mendokumentasikan secara tertulis pendapat masing-masing dalam kertas kerja.
Selain
itu, setiap kelompok harus mencari istilah yang kurang dikenal dalam skenario
tersebut dan berusaha mendiskusikan maksud dan artinya. Jika ada peserta didik
yang mengetahui artinya, segera menjelaskan kepada teman yang lain. Jika ada
bagian yang belum dapat dipecahkan dalam kelompok tersebut, ditulis dalam
permasalahan kelompok. Selanjutnya, jika ada bagian yang belum dapat dipecahkan
dalam kelompok tersebut, ditulis sebagai isu dalam permasalahan kelompok.
Kedua,
melakukan seleksi alternatif untuk memilih pendapat yang lebih fokus. Ketiga,
menentukan permasalahan dan melakukan pembagian tugas dalam kelompok untuk
mencari referensi penyelesaian dari isu permasalahan yang didapat. Fasilitator
memvalidasi pilihan-pilihan yang diambil peserta didik. Jika tujuan yang
diinginkan oleh fasilitator belum disinggung oleh peserta didik, fasilitator
mengusulkannya dengan memberikan alasannya. Pada akhir langkah peserta didik
diharapkan memiliki gambaran yang jelas tentang apa saja yang mereka ketahui,
apa saja yang mereka tidak ketahui, dan pengetahuan apa saja yang diperlukan
untuk menjembataninya. Untuk memastikan setiap peserta didik mengikuti langkah
ini, maka pendefinisian masalah dilakukan dengan mengikuti petunjuk.
2.
Pembelajaran mandiri (Self Learning)
Setelah
mengetahui tugasnya, masing-masing peserta didik mencari berbagai sumber yang
dapat memperjelas isu yang sedang diinvestigasi. Sumber yang dimaksud dapat
dalam bentuk artikel tertulis yang tersimpan di perpustakaan, halaman web, atau
bahkan pakar dalam bidang yang relevan. Tahap investigasi memiliki dua tujuan
utama, yaitu: (1) agar peserta didik mencari informasi dan mengembangkan
pemahaman yang relevan dengan permasalahan yang telah didiskusikan di kelas,
dan (2) informasi dikumpulkan dengan satu tujuan yaitu dipresentasikan di kelas
dan informasi tersebut haruslah relevan dan dapat dipahami.
Di
luar pertemuan dengan fasilitator, peserta didik bebas untuk mengadakan
pertemuan dan melakukan berbagai kegiatan. Dalam pertemuan tersebut peserta
didik akan saling bertukar informasi yang telah dikumpulkannya dan pengetahuan
yang telah mereka bangun. Peserta didik juga harus mengorganisasi informasi
yang didiskusikan, sehingga anggota kelompok lain dapat memahami relevansi
terhadap permasalahan yang dihadapi.
3.
Pertukaran pengetahuan (Exchange knowledge)
Setelah
mendapatkan sumber untuk keperluan pendalaman materi dalam langkah pembelajaran
mandiri, selanjutnya pada pertemuan berikutnya peserta didik berdiskusi dalam
kelompoknya untuk mengklarifikasi capaiannya dan merumuskan solusi dari
permasalahan kelompok. Pertukaran pengetahuan ini dapat dilakukan dengan cara
peserrta didik berkumpul sesuai kelompok dan fasilitatornya.
Tiap
kelompok menentukan ketua diskusi dan tiap peserta didik menyampaikan hasil pembelajaran
mandiri dengan cara mengintegrasikan hasil pembelajaran mandiri untuk
mendapatkan kesimpulan kelompok. Langkah selanjutnya presentasi hasil dalam
pleno (kelas besar) dengan mengakomodasi masukan dari pleno, menentukan
kesimpulan akhir, dan dokumentasi akhir. Untuk memastikan setiap peserta didik
mengikuti langkah ini maka dilakukan dengan mengikuti petunjuk.
4.
Penilaian (Assessment)
Penilaian
dilakukan dengan memadukan tiga aspek pengetahuan (knowledge), kecakapan
(skill), dan sikap (attitude). Penilaian terhadap penguasaan pengetahuan yang
mencakup seluruh kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan ujian akhir
semester (UAS), ujian tengah semester (UTS), kuis, PR, dokumen, dan laporan.
Penilaian terhadap kecakapan dapat diukur dari penguasaan alat bantu
pembelajaran, baik software, hardware, maupun kemampuan perancangan dan
pengujian. Sedangkan penilaian terhadap sikap dititikberatkan pada penguasaan
soft skill, yaitu keaktifan dan partisipasi dalam diskusi, kemampuan
bekerjasama dalam tim, dan kehadiran dalam pembelajaran. Bobot penilaian untuk
ketiga aspek tersebut ditentukan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan.
J.
Model Pembelajaran Berbasis Proyek/Project Based Learning Konsep/Definisi
Pembelajaran
Berbasis Proyek(Project Based Learning=PjBL)adalah metoda pembelajaran yang
menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi,
penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai
bentuk hasil belajar.
Pembelajaran
Berbasis Proyekmerupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai
langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru
berdasarkan pengalamannya dalam beraktivitas secara nyata. Pembelajaran
Berbasis Proyekdirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang
diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya.
Melalui
PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding
question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang
mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan
terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama
sekaligus berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya.
PjBLmerupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini
akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.
Mengingat
bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka
Pembelajaran berbasis proyekmemberikan kesempatan kepada para peserta didik
untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna
bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. Pembelajaran
Berbasis Proyekmerupakan investigasi mendalam tentang sebuah topik dunia nyata,
hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta didik.
Pembelajaran
berbasis proyek dapat dikatakan sebagai operasionalisasi konsep “Pendidikan
Berbasis Produksi” yang dikembangkan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK
sebagai institusi yang berfungsi untuk menyiapkan lulusan untuk bekerja di
dunia usaha dan industri harus dapat membekali peserta didiknya dengan
“kompetensi terstandar” yang dibutuhkan untuk bekerja dibidang masing-masing.
Dengan pembelajaran “berbasis produksi” peserta didik di SMK diperkenalkan
dengan suasana dan makna kerja yang sesungguhnya di dunia kerja. Dengan
demikian model pembelajaran yang cocok untuk SMK adalah pembelajaran berbasis
proyek.
Pembelajaran
Berbasis proyekmemiliki karakteristik sebagai berikut:
1. peserta didik membuat keputusan tentang
sebuah kerangka kerja
2. adanya permasalahan atau tantangan yang
diajukan kepada peserta didik
3. peserta didik mendesain proses untuk
menentukan solusi atas permasalahan atau
tantangan yang diajukan
4. peserta didik secara kolaboratif
bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi untuk memecahkan
permasalahan
5. proses evaluasi dijalankan secara kontinyu
6. peserta didik secara berkala melakukan
refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan
7. produk akhir aktivitas belajar akan
dievaluasi secara kualitatif, dan
8. situasi pembelajaran sangat toleran
terhadap kesalahan dan perubahan.
9. Peran instruktur atau guru dalam
Pembelajaran berbasis proyeksebaiknya sebagai fasilitator, pelatih, penasehat
dan perantara untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan daya
imajinasi, kreasi dan inovasi dari siswa.
Beberapa
hambatan dalam implementasi metode Pembelajaran Berbasis Proyekantara lain
berikut ini.
1. Pembelajaran berbasis proyekmemerlukan
banyak waktu yang harus disediakan untuk menyelesaikan permasalahan yang
komplek.
2. Banyak orang tua peserta didik yang merasa
dirugikan, karena menambah biaya untuk memasuki system baru.
3. Banyak instruktur merasa nyaman dengan
kelas tradisional ,dimana instruktur memegang peran utama di kelas. Ini
merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi instruktur yang kurang atau
tidak menguasai teknologi.
4. Banyaknya peralatan yang harus disediakan,
sehingga kebutuhan listrik bertambah.
5. Untuk itu disarankan menggunakan team
teaching dalam proses pembelajaran, dan akan lebih menarik lagi jika suasana
ruang belajar tidak monoton, beberapa contoh perubahan lay-out ruang kelas,
seperti: traditional class (teori), discussion group (pembuatan konsep dan
pembagian tugas kelompok), lab tables (saat mengerjakan tugas mandiri), circle
(presentasi). Atau buatlah suasana belajar menyenangkan, bahkan saat diskusi
dapat dilakukan di taman, artinya belajar tidak harus dilakukan di dalam ruang
kelas.
Kelebihan
Model pembelajaran berbasis proyek
1. Meningkatkan motivasi belajar peserta didik
untuk belajar, mendorong kemampuan mereka untuk melakukan pekerjaan penting,
dan mereka perlu untuk dihargai.
2. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.
3. Membuat peserta didik menjadi lebih aktif
dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.
4. Meningkatkan kolaborasi.
5. Mendorong peserta didik untuk mengembangkan
dan mempraktikkan keterampilan komunikasi.
6. Meningkatkan keterampilan peserta
didikdalam mengelola sumber.
7. Memberikan pengalaman kepada peserta didik
pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan membuat alokasi waktu
dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk menyelesaikan tugas.
8. Menyediakan pengalaman belajar yang
melibatkan peserta didik secara kompleks dan dirancang untuk berkembang sesuai
dunia nyata.
9. Melibatkan para peserta didik untuk belajar
mengambil informasi dan menunjukkan pengetahuan yang dimiliki, kemudian diimplementasikan
dengan dunia nyata.
10.
Membuat suasana belajar menjadi menyenangkan, sehingga peserta didik maupun
pendidik menikmati proses pembelajaran.
Adapun
Kelemahan pembelajaran berbasis proyek
1. Memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikan
masalah.
2. Membutuhkan biaya yang cukup banyak.
3. Banyak instruktur yang merasa nyaman dengan
kelas tradisional, di mana instruktur memegang peran utama di kelas.
4. Banyaknya peralatan yang harus disediakan.
5. Peserta didik yang memiliki kelemahan dalam
percobaan dan pengumpulan informasi akan mengalami kesulitan.
6. Ada kemungkinanpeserta didikyang kurang
aktif dalam kerja kelompok.
7. Ketika topik yang diberikan kepada
masing-masing kelompok berbeda, dikhawatirkan peserta didik tidak bisa memahami
topik secara keseluruhan
Untuk
mengatasi kelemahan dari pembelajaran berbasis proyek di atas seorang pendidik
harus dapat mengatasi dengan cara memfasilitasi peserta didik dalam menghadapi
masalah, membatasi waktu peserta didik dalam menyelesaikan proyek, meminimalis
dan menyediakan peralatan yang sederhana yang terdapat di lingkungan sekitar,
memilih lokasi penelitian yang mudah dijangkau sehingga tidak membutuhkan
banyak waktu dan biaya, menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan
sehingga instruktur dan peserta didik merasa nyaman dalam proses pembelajaran.
Pembelajaran
berbasis proyek ini juga menuntut siswa untuk mengembangkan keterampilan
seperti kolaborasi dan refleksi. Menurut studi penelitian, Pembelajaran
berbasis proyek membantu siswa untuk meningkatkan keterampilan sosial mereka,
sering menyebabkan absensi berkurang dan lebih sedikit masalah disiplin di
kelas. Siswa juga menjadi lebih percaya diri berbicara dengan kelompok orang,
termasuk orang dewasa.
Pelajaran
berbasis proyek juga meningkatkan antusiasme untuk belajar. Ketika anak-anak
bersemangat dan antusias tentang apa yang mereka pelajari, mereka sering
mendapatkan lebih banyak terlibat dalam subjek dan kemudian memperluas minat
mereka untuk mata pelajaran lainnya. Antusias peserta didik cenderung untuk
mempertahankan apa yang mereka pelajari, bukan melupakannya secepat mereka
telah lulus tes.
Langkah-langkah
Operasional Pembelajaran Berbasis Proyek sebagai berikut.
1.
Penentuanpertanyaan mendasar (Start With the Essential Question).
Pembelajaran
dimulai dengan pertanyaan esensial, yaitu pertanyaan yang dapat memberi
penugasan peserta didik dalam melakukan suatu aktivitas. Mengambil topik yang
sesuai dengan realitas dunia nyata dan dimulai dengan sebuah investigasi
mendalam. Pengajar berusaha agar topik yang diangkat relevan untuk para peserta
didik.
2.
Mendesain perencanaan proyek (Design a Plan for the Project.
Perencanaan
dilakukan secara kolaboratif antara pengajar dan peserta didik. Dengan emikian peserta didik diharapkan akan merasa
“memiliki” atas proyek tersebut. Perencanaan berisi tentang aturan main,
pemilihan aktivitas yang dapat mendukung dalam menjawab pertanyaan esensial,
dengan cara mengintegrasikan berbagai subjek yang mungkin, serta mengetahui alat dan bahan yang dapat diakses
untuk membantu penyelesaian proyek.
3.
Menyusun jadwal (Create a Schedule)
Pengajar
dan peserta didik secara kolaboratif menyusun jadwal aktivitas dalam
menyelesaikan proyek. Aktivitas pada tahap ini antara lain: (1) membuat
timeline untuk menyelesaikan proyek, (2) membuat deadline penyelesaian proyek,
(3) membawa peserta didik agar merencanakan cara yang baru, (4) membimbing
peserta didik ketika mereka membuat cara yang tidak berhubungan dengan proyek,
dan (5) meminta peserta didik untuk membuat penjelasan (alasan) tentang
pemilihan suatu cara.
4.
Memonitor peserta didik dan kemajuan proyek (Monitor the Students and the
Progress of the Project)
Pengajar
bertanggungjawab untuk melakukan monitor terhadap aktivitas peserta didik
selama menyelesaikan proyek. Monitoring dilakukan dengan cara menfasilitasi
peserta didik pada setiap roses. Dengan kata lain pengajar berperan menjadi
mentor bagi aktivitas peserta didik. Agar mempermudah proses monitoring, dibuat
sebuah rubrik yang dapat merekam keseluruhan aktivitas yang penting.
5.
Menguji hasil (Assess the Outcome)
Penilaian
dilakukan untuk membantu pengajar dalam mengukur ketercapaian standar, berperan
dalam mengevaluasi kemajuan masing- masing peserta didik, memberi umpan balik
tentang tingkat pemahaman yang sudah dicapai peserta didik, membantu pengajar
dalam menyusun strategi pembelajaran berikutnya.
6.
Mengevaluasi pengalaman (Evaluate the Experience)
Pada
akhir proses pembelajaran, pengajar dan peserta didik melakukan refleksi
terhadap aktivitas dan hasil proyek yang sudah dijalankan. Proses refleksi
dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini peserta didik
diminta untuk mengungkapkan perasaan dan pengalamanya selama menyelesaikan
proyek. Pengajar dan peserta didik mengembangkan diskusi dalam rangka
memperbaiki kinerja selama proses pembelajaran, sehingga pada akhirnya
ditemukan suatu temuan baru (new inquiry) untuk menjawab permasalahan yang
diajukan pada tahap pertama pembelajaran.
K.
Model Pembelajaran Group Investigation
Ide
model pembelajaran geroup investigation bermula dari perpsektif filosofis
terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan
atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku Democracy and
Education (Arends, 1998).
Dalam
buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan
cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang
kehidupan nyata.
Pemikiran
Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob, et al., 1996), adalah: (1) siswa
hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar hendaknya didasari motivasi
intrinsik; (3) pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap; (4)
kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa; (5)
pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan
saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting;
(6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata.
Gagasan-gagasan
Dewey akhirnya diwujudkan dalam model group-investigation yang kemudian
dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya
merupakan miniatur demokrasi yang bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial
antar pribadi (Arends, 1998). Model group-investigation memiliki enam langkah
pembelajaran (Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping (menetapkan jumlah anggota
kelompok, menentukan sumber, memilih topik, merumuskan permasalahan), (2) planning
(menetapkan apa yang akan dipelajari, bagaimana mempelajari, siapa melakukan
apa, apa tujuannya), (3) investigation (saling tukar informasi dan ide,
berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data, membuat
inferensi), (4) organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan
presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator, dan notulis), (5) presenting
(salah satu kelompok menyajikan, kelompok lain mengamati, mengevaluasi,
mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan (6) evaluating
(masing-masing siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing
berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan guru berkolaborasi mengevaluasi
pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil belajar yang difokuskan
pada pencapaian pemahaman.
Sistem
sosial yang berkembang adalah minimnya arahan guru, demokratis, guru dan siswa
memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh
kesepakatan.
Prinsip
reaksi yang dikembangkan adalah guru lebih berperan sebagai konselor,
konsultan, sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam
proses pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan pemaknaan perseorangan.
Peranan guru terkait
dengan
proses pemecahan masalah berkenaan dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan
fokus masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan
informasi yang diperlukan dan pengorganisasian kelompok untuk memperoleh
informasi tersebut. Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan inferensi yang
diorganisasi oleh kelompok dan bagaimana membedakan kemampuan perseorangan.
Sarana
pendukung model pembelajaran ini adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar,
panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang
sesuai, meja dan korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah
ditata untuk itu.
Sebagai
dampak pembelajaran adalah pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan,
penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman yang
mendalam.
Sebagai
dampak pengiring pembelajaran adalah hormat terhadap HAM dan komitmen dalam
bernegara, kebebasan sebagai siswa, penumbuhan aspek sosial, interpersonal, dan
intrapersonal.
L.
Model Pembelajaran Penelitian Jurisprudensial
Dasar
pemikiran model ini adalah terkait dengan konsepsi tentang masyarakat yang
memiliki pandangan dan prioritas yang berbeda mengenai nilai sosial yang secara
hokum saling bertentangan satu sama lain. Untuk memecahkan masalah yang
kontroversial dalam konteks sosial yang produktif, setiap warga negara perlu
memiliki kemampuan untuk dapat berbicara kepada orang lain dan berhasil dengan
baik melakukan kesepakatan dengan orang lain. Setiap warga negara harus mampu
menganalisis secara cerdas dan mengambil contoh masalah soaial, yang paling
tepat pada hakikatnya berkenaan dengan konsep keadilan, hak azasi manusia yang
memang menjadi inti dari kehidupan demokrasi. Untuk dapat melakukan aktivitas
tersebut, diperlukan tiga kemampuan, yakni: (a) mengenal dengan baik
nilai-nilai yang berlaku dalam sistem hukum dan politik yang ada di lingkungan
negaranya, (b) memiliki seperangkat keterampilan untuk dapat digunakan dalam
menjernihkan dan memecahkan masalah nilai, (c) menguasai pengetahuan tentang
politik yang bersifat kontemporer yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
negaranya.
Yang
paling tepat digunakan sebagai bidang kajian dalam model ini adalah konflik
rasial dan etnis, konflik ideologi dan keagamaan, keamanan pribadi, konflik
antar golongan ekonomi, kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan, serta keamanan
nasional. Lingkup dan tingkat kerumitan dari masing-masing bidang kajian
tersebut tentu saja harus disesuaikan dengan tingkat usia dan lingkungan siswa.
Model
penelitian Jurisprudensial ini memiliki enam langkah pembelajaran (Joyse dan
Weil, 1986:268). (1) Orientasi kasus, pada tahapan ini pengajar memperkenalkan
materi pelajaran dan mereviu data yang ada. (2) Mengidentifikasi kasus, pada
tahapan ini, siswa mensintesiskan fakta-fakta ke dalam suatu kasus yang
dihadapi, memilih salah satu kasus kebijaksanaan pemerintah untuk didiskuskan,
mengidentifikasi nilai-nilai dan konflik yang terjadi, mengenali fakta yang
melatarbelakangi kasus dan pertanyaan yang terdefinisikan. (3) Menetapkan
posisi, pada tahapan ini siswa menimbang-menimbang posisi atau kedudukannya,
kemudian menyatakan kedudukannya dalam konflik nilai tersebut dan dalam
hubungannya dengan konsekuensi dari kedudukan itu. (4) Mengeksplorasi
contoh-contoh dan pola-pola argumentasi, pada tahapan ini siswa menetapkan
titik di mana tampak adanya perusakan nilai atas dasar data yang diperoleh,
membuktikan konsekuensi yang diinginkan dan yang tidak diinginkan dari posisi
yang dipilih, menjernihkan konflik nilai dengan melakukan proses analogi,
menetapkan prioritas dengan cara membandingkan nilai yang satu dengan yang
lainnya dan mendemonstrasikan kekurangannya bila memiliki salah satu nilai. (5)
Menjernihkan dan menguji posisi, pada tahapan ini siswa menyatakan posisinya
dan memberikan rasional mengenai posisinya tersebut, dan kemudian menguji
sejumlah situasi yang serupa, siswa meluruskan posisinya. (6) Menguji asumsi
faktual yang melatarbelakangi posisi yang diluruskannya, pada tahapan ini siswa
mengidentifikasi asumsi faktual dan menetapkan sesuai atau tidaknya, menetapkan
konsekuensi yang diperkirakan dan menguji kesahihan faktual dari konsekuensi
tersebut.
Sistem
sosial yang berkembang, bahwa guru memulai membuka tahapan dan bergerak dari
tahap yang satu ke tahap lainnya tergantung pada kemampuan para siswa untuk
menyesuaikan tugas-tugas belajarnya pada masing-masing tahapan. Setelah siswa
mengalami satu kali proses Jurisprudensial, diharapkan masing-masing siswa akan
dapat melakukannya tanpa bantuan dari orang lain.
Prinsip
reaksi yang berlangsung terutama yang terjadi pada tahap keempat dan kelima
tidak bersifat evaluatif, menyetujui, atau tidak menyetujui. Apa yang dilakukan
oleh guru, merupakan reaksi terhadap komentar siswa dengan cara memberi
pertanyaan mengenai relevansi, keajegan, kekhususan, atau keumuman, dan
kejelasan secara definitif. Untuk dapat memerankan hal tersebut, guru hendaknya
dapat mengantisifasi nilai yang diajukan oleh siswa dan berkenaan dengan hal
tersebut, guru hendaknya siap memfasilitasi siswa dengan hal-hal yang menantang
dan melacak kebutuhan siswa lebih jauh.
Sistem
pendukung yang diperlukan dalam model ini adalah sumber-sumber dokumen yang
relevan dengan masalah. Seyogyanya disediakan sumber-sumber yang dipublikasikan
secara resmi mengenai kasus-kasus yang aktual. Guru dapat pula mengembangkan
system pendukung dengan cara merangkum informasi mengenai kasus-kasus dari
berbagai sumber informasi yang sangat langka atau yang memang sukar diperoleh
oleh siswa. Di dalam menerapkan model ini, dua hal yang perlu diperhatikan
adalah tingkat usia siswa dan lingkungan belajarnya.
Dampak
pembelajaran model penelitian Jurisprudensial ini adalah: kemampuan
mengasumsikan peranan siswa lain dan kemampuan dalam berdialog. Sedangkan
dampak pengiring pembelajaran adalah: kerangka untuk menganalisis isu-isu
sosial, empati/pluralisme, fakta tentang masalah sosial, dan kemampuan untuk
berpartisipasi melakukan tindakan sosial.
M.
Model Pembelajaran Penelitian Sosial
Model
pembelajaran penelitian sosial mendasarkan diri pada kemampuan guru untuk melakukan
refleksi terhadap kelas di mana dia memfasilitasi siswa. Menurut Massialas dan
Cox (dalam Joys dan Weil, 1986), bahwa suasana kelas yang reflektif memiliki
tiga karakteristik utama, yaitu: (1) aspek sosial kelas dan keterbukaan dalam
diskusi, (2) penekanan pada hipotesis sebagai fokus utama, dan (3) penggunaan
fakta sebagai bukti.
Model
pembelajaran ini memiliki enam langkah pembelajaran. (1) Orientasi sebagai
langkah untuk membuat siswa menjadi peka terhadap masalah dan dapat merumuskan
masalah yang akan menjadi pusat penelitian. (2) Perumusan hipotesis yang akan
dibuktikan sebagai pembimbing atau pedoman dalam melakukan penelitian. (3)
Penjelasan dan pendefinisian istilah-istilah yang terkandung dalam hipotesis.
(4) Eksplorasi dalam rangka menguji hipotesis dalam kerangka validasi dan
pengujian konsistensi internal sebagai dasar proses pengujian. (5) Pembuktian
dengan cara mengumpulkan data yang bersangkut paut dengan esensi hipotesis. (6)
Merumuskan generalisasi berupa pernyataan yang memiliki tingkat abstraksi yang
luas yang mengaitkan beberapa konsep yang erat kaitannya dengan hipotesis.
Prinsip
sosial yang berkembang ditandai dengan adanya tindakan guru mengambil inisiatif
untuk meneliti dan memandu siswa dari tahap yang satu ke tahap yang lain. Siswa
dalam melakukan proses penelitian akan sangat tergantung pada kemampuan dalam
penelitian, dan ia harus memikul tanggung jawab untuk mengikuti proses dari
tahap satu hingga tahap akhir.
Prinsip
reaksi guru lebih ditandai oleh peranannya sebagai konselor yang bertugas
membantu para siswa untuk menjernihkan kedudukannya, memperbaiki proses
belajar, merencanakan, mengembangkan, dan melaksanakan pembelajaran. Guru
bertugas membantu siswa dalam penggunaan bahasa yang komunikatif, logika yang
rasional, obyektif, pengertian tentang asumsi, dan berkomunikasi secara efektif
dengan siswa lain. Akibat dari tugas tersebut, guru lebih memiliki peranan yang
bersifat reflektif, di kelas tempatnya memfasilitasi siswa memahami dirinya dan
mampu menemukan alur berpikir sendiri. Dengan demikian, guru selalu bertindak
sebagai penjernih, pengarah, konselor, dan instruktur.
Sistem
pendukung utama yang diperlukan dalam mengimplementasikan model pembelajaran
ini adalah, pengembangan cara pemecahan masalah kehidupan yang fleksibel,
sumber kepustakaan yang takterbatas, dan akses informasi yang lain sebagai
sumber belajar yang baik. Lingkungan belajar yang kaya akan informasi sangat
diperlukan keberadaanya, sehingga memberi peluang secara optimal kepada siswa
untuk melakukan proses penelitian dengan baik.
Dampak
pembelajaran model penelitian sosial ini adalah: penjagaan terhadap
masalahmasalah sosial dan komitmen terhadap peningkatan kualitas siswa sebagai
warganegara.
Sedangkan
dampak pengiringnya adalah: penghargaan terhadap hak azasi manusia, tindakan
sosial, dan toleransi dalam berdialog.
Kiat
Mengajar Secara Efektif
Menurut
Jeannette Vos dalam Buku Revolusi cara Belajar (The Learning Revolotion) bagian
II halaman 296 memberikan lembar uji untuk guru dan pelatihan dalam memulai
model program belajar cepat terpadu dengan menjelaskan enam kiat mengajar
secara efektif sebagai berikut :
Ciptakan
“kondisi” yang benar
1. Orkestrasikan lingkungan
2. Ciptakan suasana positif bagi guru dan
siswa
3. Kukuhkan, jangkarkan, dan fokuskan
4. Tentukan hasil dan sasaran: AMBAK – Apa
manfaatnya bagiku?
5. Visualisasikan tujuan anda
6. Anggaplah kesalahan sebagai umpan balik
7. Pasanglah poster di sekeliling dinding
Presentasi
yang benar
1. Dapatkan gambar menyeluruh dulu, termasuk
karya wisata
2. Gunakan semua gaya belajar dan semua ragam
kecerdasan
3. Gambarlah, buatlah Pemetaan Pikiran,
visualisasikan
4. Gunakan konser musik aktif dan pasif.
Pikirkan
1. Berpikirlah kreatif
2. Berpikirlah kritis, konseptual, analitis.
Reflektif
3. Lakukan pemecahan masalah secara kreatif
4. Gunakan teknik memori tingkat tinggi untuk
menyimpan informasi secara permanen
5. Berpikirlah tentang pikiran anda.
Ekspresikan
1. Gunakan dan praktikkan
2. Ciptakan permainan, lakon pendek, diskusi,
sandiwara- untuk melayani semua gaya belajar dan semua ragam kecerdasan.
3. Praktikkan
4. Gunakan di luar sekolah
Lakukan
1. Ubahlah siswa menjadi guru
2. Kombinasikan dengan pengetahuan yang sudah
anda miliki
3. Tinjau, evaluasi, dan rayakan
4. Sadarilah apa yang anda ketahui
5. Evaluasilah diri/teman/instruktur anda
6. Lakukan evaluasi berkelanjutan.
Perlu
juga diketahui oleh pendidik sebagai fasilitator, bahwa terdapat enam jalur
utama menuju otak dalam belajar menurut Gordon Dryden melalui :
1. Apa yang kita lihat
2. Apa yang kita dengar
3. Apa yang kita kecap
4. Apa yang kita sentuh
5. Apa yang kita baui
6. Apa yang kita lakukan
Sumber
https://ainamulyana.blogspot.com/2015/09/model-model-pembelajaran-inovatif-dan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar